Wajah Bogor memang telah banyak berubah. Bukan lebih baik, melainkan sangat buruk. Kualitas perkotaan menurun drastis. Ini terlihat dari indikator tiga masalah mendasar yang membebani kota yakni kemacetan terkait masalah transportasi, PKL yang berkolerasi dengan perekonomian, dan maraknya alih fungsi peruntukan yang terkait dengan tata ruang.
Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, memaparkan hal tersebut kepada Kompas.com, Jumat (27/9/2013).
“Tiga masalah tersebut bersifat krusial sifatnya yang harus diselesaikan segera, sebelum Bogor mengalami stagnasi dan ditinggalkan warganya. Tiga masalah ini telah mencerabut Bogor dari identitasnya semula sebagai Kota dalam Taman, kualitas hidup baik sehingga dianggap kota layak huni,” jelas Yayat.
Betapa tidak krusial. Bayangkan saja, kemacetan akan selalu menjadi santapan sehari-hari mengingat Bogor saat ini masih disesaki oleh sebanyak 3.412 angkot. Meski menurut Organisasi Angkutan Darat (Organda), mengalami penyusutan dari tahun-tahun sebelumnya yakni 3.506 unit angkot, jumlahnya melebihi kapasitas daya dukung infrastruktur jalan.
Seperti diketahui, Bogor dilintasi oleh tiga sarana jalan dengan status dan kualitas Jalan Negara, Jalan Provinsi dan Jalan Kota. Jalan Negara dengan kondisi baik hanya sepanjang 17.633 kilometer dari total 30.199 kilometer. Sementara Jalan Propinsi yang bisa dilewati dengan mulus hanya 10.596 kilometer dari total 26.759 kilometer. Jalan Kota dengan kondisi baik sepanjang 129.573 kilometer dari total 564.193 kilometer. Selebihnya justru dalam kondisi sedang dan buruk.
Menurut perhitungan Yayat, kapasitas jalan yang bisa dilalui oleh angkot hanya separuhnya. Jadi, rasio ideal adalah Bogor hanya bisa menampung sekitar 500 angkot untuk kepentingan mobilitas warganya. Namun, jauh lebih baik bila Bogor menyediakan sistem transportasi ramah lingkungan, memaksimalkan fungsi terminal yang ada serta penyediaan ruang untuk pejalan kaki dan pengayuh sepeda.
Masalah lain yang sangat membebani kota yang pernah meraih Adipura Kencana adalah kehadiran PKL. Mereka memadati setiap sudut kota, terutama di pusat-pusat bisnis dan aktifitas seperti Jl Kapten Muslihat, Jl Juanda, Jl Suryakencana, Jl Pajajaran, Jl Sukasari, dan Jl Merdeka. Para PKL ini membuka lapaknya mulai pagi hingga pagi kembali.
“PKL hadir karena pasar-pasar tradisional tidak berfungsi dengan baik. Mereka akhirnya kemudian memanfaatkan lahan-lahan di luar pasar menjadi tempat berusaha. Padahal, dari sejumlah PKL itu, banyak yang sudah memiliki kios di pasar-pasar tersebut. Hanya, karena pasar tidak lagi nyaman dan berfungsi dengan baik, tumpahnya PKL ke pinggir jalan tak terelakkan,” imbuh Yayat.
Masalah alih fungsi tata ruang, lanjut Yayat, lebih parah lagi. Telah terjadi praktek obral perizinan demi masuknya investasi atau arus modal besar-besaran. Padahal izin-izin yang diberikan kerap melanggar Tata Ruang Kota, sehingga konversi dari peruntukan permukiman menjadi komersial semakin intensif.
Yayat menjelaskan, alih fungsi peruntukan sangat parah dan dibiarkan tanpa pengendalian dan pengawasan. Kawasan-kawasan permukiman seperti Pajajaran, Sempur, Tajur, Warung Jambu, Empang dan lain-lain telah berubah menjadi pusat-pusat bisnis seperti mal, ruko, factory outlet dan perhotelan.
Melihat kondisi demikian, tak mengherankan bila Bogor mengalami krisis identitas multidimensi. Tidak jelas akan menjadi kota bisnis dan perdagangan, kota wisata, atau masih setia dengan predikat “Kota Sejuta Angkot.
“Semua hal diperdagangkan. Mulai dari perizinan, peruntukan hingga tata ruang keseluruhan. Bogor harus melakukan pembaruan, berubah ke arah lebih baik. Bogor gagap menghadapi kemajuan zaman. Semua hal diterima tanpa melalui proses seleksi apakah sesuai dengan karakter atau justru melenceng. Asal “menguntungkan” secara ekonomis diizinkan, kendati itu harus melabrak tata ruang. Pendek kata, Bogor tambah amburadul,” tandas Yayat
YOUR COMMENT